Biografi
Gusdur : Kelahiran dan Pendidikan
Gusdur adalah panggilan akrab dari Abdurrahman Wahid. Gusdur merupakan presiden ke empat menggantikan presiden sebelumnya BJ Habibie. Gusdur lahir pada tanggal 7 september 1940 di Jombang Jawa Timur. Nama lahir Gusdur adalah Aburrahman Addkhil namun lebih di kenal dengan nama Abdurrahman Wahid. Gusdur adalah anak pertama dari enam bersaudara.
Sedangkan Abdurrahman Addakhil sendiri memiliki arti sang penakluk. Kemudian nama panggilan akrabnya adalah Gus Dur yang artinya Gus adalah panggilan kehormatan khusus bagi anak kiyai, sama dengan panggilan abang atau mas. Hanya Gus jauh lebih terhormat.
Orang tua Gusdur adalah tokoh islam yang terkenal, ayah Gusdur bernama K.H Wahid Hasyim dan ibunya adalah Ny.Hj Solichah. Keduanya adalah tokoh islam di Jombang Jawa Timur. Serta keluarga Gusdur merupakan keturunan orang terhormat dalam kalangan muslim NU. Karena kakeknya yaitu K.H Hasyim Asyari adalah seorang pendiri organisasi islam Nahdlatul Umat (NU). Sedangkan kakek dari ibunya, yaitu K.H Bisri Syansuri adalah pengajar pesantren yang sangat di segani.
Ayah Gusdur sendiri yaitu K.H Wahid Hasyim sendiri merupakan seorang tokoh nasional karena tercatat sebagai salah satu yang aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1949 ayah Gusdur di percaya untuk mejadi menteri agama pertama republik Indonesia. Ibunya Gusdur, Ny.Hj Sholihah adalah putri dari pendiri pondok pesantren terkenal, Denanyar Jombang Jawa Timur.
Biografi
Gusdur : Masa Pendidikan
Gusdur pindah ke Jakarta tahun 1949 mengikuti ayahnya yang menjabat sebagai Menteri Agama pertama. Gusdur masuk sekolah SD Matraman Perwari. Kemudian memilih tetap terus untuk tinggal di Jakarta meskipun pada tahun 1952 ayahnya sudah tidak lagi menjabat menteri agama.
Dari awal masuk SD, Gusdur sudah di ajarkan dan di arahkan untuk banyak membaca buku-buku umum. Ayahnya tentu ingin supaya Gusdur memiliki pengetahuan dan pandangn yang luas tentang hidup. Tidak sebatas hanya seputar ilmu yang terdapat dalam kitab kuning. Sampai hari yang menyedihkan itu tiba, pada Aprip 1953 ayah Gusdur meninggal dunia karena kecelakaan mobil dalam perjalanan antara Bandung-Cimahi Jawa Barat.
Setahun setelah ayahnya meninggal, yaitu 1954 Gusdur meneruskan pendidikan ke jenjang bangku SMP. Sayang ia tidak naik kelas, namun bukan karena alasan akademik. Kemudian ibunya mengirim Gusdur untuk masuk pesantren sambil melanjutkan sekolah SMP di Yogyakarta. Ia belajar di pondok pesantren krapyak pimpinan K.H Ali Maksum.
Gusdur lulus SMP tahun 1957. Seterusnya ia melanjutkan pindah ke Magelang untuk menimba ilmu di pesantren Tegalrejo. Dua tahun kemudian Gusdur sudah mampu menyelesaikan pendidikannya, hal yang luar biasa, Gusdur mulai menunjukan kecerdasannya. Karena biasanya pendidikan di pesantren ini harus di tempuh selama empat tahun.
Di tahun 1959 Gusdur meneruskan ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Selain terus menuntut ilmu, ia juga mulai mengabdi sebagai pengajar. Kemudian berlanjut menjadi kepala sekolah madrasah. Di samping itu, ia juga mulai memperllihatkan kemampuan menulisnya. Tercatat ia mulai menulis sebagai jurnalis di harian Majalah Budaya Jaya dan Horizon.
Pada tahun 1963 Gusdur memulai menempuh pendidikan di luar negeri. Gusdur menerima beasiswa dari Kementerian Agama dan di kirim untuk belajar di Kairo Mesir pada Universitas Al-Azhar. Selanjutnya ia pindah ke Irak untuk belajar di Universitas Baghdad pada tahun 1966. Di sana ia aktif di organisasi Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga aktif menulis di majalah Asosiasi Pelajar tersebut.
Setelah selesai dari Universitas Baghdad. Gusdur banyak berkeliling ke beberapa negara di antaranya ke Belanda, Jerman dan Perancis sebelum berikutnya ia kembali ke Indonesia di tahun 1970.
Gusdur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dari pernikahannya ia karuniai empat orang putri yaitu : Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny Wahid), Anita Hayatunnufus, Inayah Wulandari.
Biografi
Gusdur : Masa Karir
Setelah kembali dari luar negeri, Gusdur mulai meniti karirnya dengan bergabung dengan Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Dengan kemampuan menulisnya yang baik, ia juga meneruskan untuk menulis dan mengirim tulisannya ke beberapa surat kabar yang ada saat itu. Ternyata ini membuat namanya mulai di kenal, sehingga membuat dirinya menerima banyak tawaran untuk mengisi acara-acara seperti diskusi maupun seminar dari Jakarta. Ia harus bolak-balik antara Jombang-Jakarta.
Kemudian pada tahun 1977 Gusdur bergabung dengan Universitas Hasyim Asyari. Ia menjabat sebagai dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan. Namun sebelum itu dan dari beberapa literatur yang penulis dapat, dari tahun 1974 sampai 1977 Gusdur mengalami kesulitan finansial karena saat itu ia hanya bisa mengandalkan dari satu sumber penghasilan saja. Sampai-sampai ia harus berjualan es dan kacang.
Walaupun secara pribadi Gusdur ingin mengembangkan ilmunya dalam kancah umum. Namun ternyata latar belakang NU dari orang tuanya menarik ia untuk aktif di organisasi tersebut. Gusdur menolak tawaran dari para pengurus NU sampai tiga kali. Sampai terakhir yang ketiga kali kakeknya sendiri yang meminta dan membuat Gusdur tidak bisa lagi menolak. Serta di tahun 1982 Gusdur terjun langsung dalam ranah kancah politik, ia ikut berkampanye bersama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PPP sendiri merupakan partai gabungan dari empat partai islam termasuk di dalamnya Nahdlatul Umat (NU).
Pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di tanggal 20 oktober 1999, Gusdur terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia ke empat menggantikan BJ Habibie. Gasdur mendapat 373 suara, mengalahkan saingannya Megawati Soekarnoputri yang mendapat 313 suara. Dan sebelumnya MPR juga menolak pertanggung jawaban mantan Presiden BJ Habibie.
Pada tanggal 23 Juli 2001, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan sidang istimewa dan memakzulkan kepresidenan Gusdur. MPR menunjuk Megawati Soekarnoputri sebagai penggantinya. Tanggal 25 Juli 2001 Gusdur harus berangkat ke Amerika Serikat karena kendala kesehatannya.
Gusdur menderita beberapa penyakit : stroke, diabetes dan gangguan ginjal. Sampai pada 30 desember 2009 pukul 18:45 WIB, Gusdur meninggal dunia di rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Gusdur di makamkan di Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur.
Biografi Gus Miek
Biografi KH Hamim Djazuli
© KH. Hamim Tohari Djazuli atau akrab dengan panggilan Gus Miek lahir
pada 17 Agustus 1940,beliau adalah putra KH. Jazuli Utsman (seorang
ulama sufi dan ahli tarikat pendiri pon-pes Al Falah mojo Kediri), Gus
Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang
masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai
tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur. Maka wajar, jika Gus Miek
dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang
terkadang sulit dijangkau akal. Selain menjadi pejuang Islam yang gigih,
dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki
spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan
patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan
manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas). Hal
itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat
dengan (alm) KH. Hamid Pasuruan,
dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual
”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka yang lupa). Gerakan-gerakan
spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan Nahdliyin
(sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para
wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa. Hal terpenting lain untuk
diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam
praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak
didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan
orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat.
Ayah Gus Miek KH.Achmad Djazuli Usman
Gus Miek seorang hafizh (penghapal)
Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan
segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain.
Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan
dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan, beliaupun membentuk sema’an
alquran dan jama’ah Dzikrul Ghofilin.
Gus Miek selain dikenal sebagai seorang
ulama besar juga dikenal sebagai orang yang nyeleneh, beliau lebih
menyukai da’wah di kerumunan orang yang melakukan maksiat seperti
diskotik, club malam dibandingkan dengan menjadi seorang kyai yang
tinggal di pesantren yang mengajarkan santrinya kitab kuning. hampir
tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di Jawa Timur keluar masuk club
malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di pinggiran
jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang
sedang dalam kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang terkenal adalah suluk
jalan terabas atau dalam bahasa indonesia-nya pemikiran jalan pintas.
Pernah diceritakan Suatu ketika Gus Miek
pergi ke diskotik dan di sana bertemu dengan Pengunjung yang sedang
asyik menenggak minuman keras, Gus Miek menghampiri mereka dan mengambil
sebotol minuman keras lalu memasukkannya ke mulut Gus Miek salah satu
dari mereka mengenali Gus Miek dan bertanya kepada Gus Miek. ”Gus kenapa
sampeyan ikut Minum bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras
yang diharamkan oleh Agama ?” lalu Gus Miek Menjawab “aku tidak
meminumnya …..!! aku hanya membuang minuman itu kelaut…!” hal ini
membuat mereka bertanya-tanya, padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum
minuman keras tersebut. Diliputi rasa keanehan, Gus miek angkat bicara
“sampeyan semua ga percaya kalo aku tidak meminumnya tapi membuangnya
kelaut..?” lalu Gus Miek Membuka lebar Mulutnya dan mereka semua
terperanjat kaget didalam Mulut Gus miek terlihat Laut yang bergelombang
dan ternyata benar minuman keras tersebut dibuang kelaut. Dan Saat itu
juga mereka diberi Hidayah Oleh Alloh SWt untuk bertaubat dan
meninggalkan minum-minuman keras yang dilarang oleh agama. Itulah salah
salah satu Karomah kewaliyan yang diberikan Alloh kepada Gus Miek.
Jika sedang jalan-jalan atau keluar, Gus
Miek sering kali mengenakan celana jeans dan kaos oblong. Tidak lupa,
beliau selalu mengenakan kaca mata hitam lantaran lantaran beliau sering
menangis jika melihat seseorang yang “masa depannya” suram dan tak
beruntung di akhirat kelak.
Ketika beliau berdakwah di Semarang
tepatnya di NIAC di Pelabuhan Tanjung Mas. Niac adalah surga perjudian
bagi para cukong-cukong besar baik dari pribumi maupun keturunan, Gus
Miek yang masuk dengan segala kelebihannya mampu memenangi setiap
permainan, sehingga para cukong-cukong itu mengalami kekalahan yang
sangat besar. NIAC pun yang semula menjadi surga perjudian menjadi
neraka yang sangat menakutkan bagi para penjudi dan penikmat maksiat.
Satu contoh lagi ketika Gus Miek
berjalan-jalan ke Surabaya, ketika tiba di sebuah club malam Gus Miek
masuk kedalam club yang di penuhi dengan perempuan-perempuan nakal, lalu
Gus Miek langsung menuju waitres (pelayan minuman) beliau menepuk
pundak perempuan tersebut sambil meniupkan asap rokok tepat di wajahnya,
perempuan itu pun mundur tapi terus di kejar oleh Gus miek sambil tetap
meniupkan asap rokok diwajah perempuan tersebut. Perempuan tersebut
mundur hingga terbaring di kamar dengan penuh ketakutan, setelah
kejadian tersebut perempuan itu tidak tampak lagi di club malam itu.
Pernah suatu ketika Gus Farid (anak
KH.Ahamad Siddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan
yang sering mengganjal di hatinya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek
tentang Wanita ? “Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik
apapun dia dalam pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang
saja jadi jalan untuk syahwat tidak ada” jawab Gus miek.
Pertanyaan kedua Gus Farid menayakan
tentang kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam baik itu dijalan
maupun saat bertemu dengan tamu…”Apabila aku bertemu orang dijalan atau
tamu aku diberi pengetahuaan tentang perjalanan hidupnya sampai mati.
Apabila aku bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku
menangis, maka aku memakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa
aku sedang menagis“ jawab Gus Miek
Adanya sistem Dakwah yang dilakukan Gus
miek tidak bisa di contoh begitu saja karena resikonya sangat berat bagi
mereka yang Alim pun Sekaliber KH.Abdul Hamid (pasuruan) mengaku tidak
sanggup melakukan da’wak seperti yang dilakukan oleh Gus Miek padahal
Kh.Abdul Hamid juga seorang waliyalloh.
Gus Miek bertemu KH. Mas’ud (Mbah Ud Pagerwojo Sidoarjo)
Ketika Gus Miek masih berusia 9 tahun,
Gus Miek sowan ke rumah Gus Ud (KH. Mas’ud) Pagerwojo, Sidoarjo. Gus Ud
adalah seorang tokoh kharismatik yang diyakini sebagai seorang wali. Dia
sering dikunjungi olah sejumlah ulama untuk meminta doanya. Di rumah
Gus Ud inilah untuk pertama kalinya Gus Miek bertemu KH. Ahmad Siddiq,
yang di kemudian hari menjadi orang kepercayaannya dan sekaligus
besannya.
Saat itu, Kiai Ahmad Siddiq masih berusia
23 tahun, dan tengah menjadi sekretaris pribadi KH. Wahid Hasyim yang
saat itu menjabat sebagai menteri agama. Sebagaimana para ulama yang
berkunjung ke ndalem Gus Ud, kedatangan Kiai Ahmad Siddiq ke ndalem Gus
Ud juga untuk mengharapkan do’a dan dibacakan Al-Fatehah untuk
keselamatan dan kesuksesan hidupnya. Tetapi, Gus Ud menolak karena
merasa ada yang lebih pantas membaca Al-Fatehan. Gus Ud kemudian
menunjuk Gus Miek yang saat itu tengah berada di luar rumah. Gus Miek
dengan terpaksa membacakan Al-Fatehah setelah diminta oleh Gus Ud.
KH. Ahmad Siddiq, sebelum dekat dengan
Gus Miek, pernah menemui Gus Ud untuk bicara empat mata
menanyakan tentang siapakah Gus Miek itu.
“Mbah, saya sowan karena ingin tahu Gus
Miek itu siapa, kok banyak orang besar seperti KH. Hamid
menghormatinya?” Tanya KH. Ahmad Siddiq.
“Di sekitar tahun 1950-an, kamu datang ke
rumahku meminta do’a. Aku menyuruh seorang bocah untuk mendoakan kamu.
Itulah Gus Miek. Jadi, siapa saja, termasuk kamu, bisa berkumpul dengan
Gus Miek itu seperti mendapatkan Lailatul Qodar,” jawab Gus Ud.
Begitu Gus Ud selesai mengucapan kata
Lailatul Qodar, Gus Miek tiba-tiba turun dari langit-langit kamar lalu
duduk di antara keduanya. Sama sekali tidak terlihat bekas atap yang
runtuh karena dilewati Gus Miek. Setelah mengucapkan salam, Gus Miek
kembali menghilang.
Suatu hari, Gus Miek tiba di Jember
bersama Syafi’i dan KH. Hamid Kajoran, mengendarai mobil Fiat 2300 milik
Sekda Jember. Sehabis Ashar, Gus Miek mengajak pergi ke Sidoarjo.
Rombongan bertambah Mulyadi dan Sunyoto. Tiba di Sidoarjo, Gus Miek
mengajak istirahat di salah satu masjid. Gus Miek hanya duduk di tengah
masjid, sementara KH. Hamid Kajoran dan Syafi’i tengah bersiap-siap
menjalankan shalat jamak ta’khir (Magrib dan Isya).
Ketika Syafi’i iqomat, Gus Miek menyela,
“Mbah, Mbah, shalatnya nanti saja di Ampel.” KH. Hamid dan Syafi’i pun
tidak berani melanjudkan.
Tiba-tiba, dri sebuah gang terlihat seorang anak laki-laki keluar, sedang berjalan perlahan. Gus Miek memanggilnya.
“Mas, beri tahu Mbah Ud, ada Gus Hamim dari kediri,” kata Gus Miek kepada anak itu.
Anak itu lalu pergi ke rumah Mbah Ud. Tidak beberapa lama, Mbah Ud datang dengan dipapah dua orang santri.
“Masya Allah, Gus Hamim, sini ini Kauman
ya, Gus. Kaumnya orang-orang beriman ya, Gus. Ini masjid Kauman, Gus.
Anda doakan saya selamat ya, Gus,” teriak Mbah Ud sambil terus berjalan
ke arah Gus Miek.
Ketika sudah dekat, Gus Miek dan Mbah Ud
terlihat saling berebut untuk lebih dulu menyalami dan mencium tangan.
Kemudian Gus Miek mengajak semuanya ke ruamah Mbah Ud. Tiba di rumah,
Mbah Ud dan Gus Miek duduk bersila di atas kursi, kemudian dengan
lantang keduanya menyanyikan shalawat dengan tabuhan tangan. Seperti
orang kesurupan, keduanya terus bernyanyi dan memukul-mukul tangan dan
kaki sebagai musik iringan. Setelah puas, keduanya terdiam. “Silakan,
Gus, berdoa,” kata Mbah Ud kepada Gus Miek. Gus miek pun berdoa dan Mbah
Ud mengamini sambil menangis.
Di sepanjang perjalanan menuju ruamah
Syafi’i di Ampel, Sunyoto berbisik-bisik dengan Mulyadi. Keduanya
penasaran dengan kejadian yang baru saja mereka alam. Karena Mbah Ud
Pagerwojo terkenal sebagai wali dan khariqul ‘adah (di luar kebiasaan).
Hampir semua orang di Jawa Timur segan terhadapnya. “Mas, misalnya ada
seorang camat yang kedatangan tamu, lalu camat tersebut mengatakan
silakan-silakan dengan penuh hormat, itu kalau menurut kepangkatan,
bukankah tinggi pangkat tamunya?” Tanya Sunyoto kepada Mulyadi.
Mbah Ud adalah salah seorang tokoh di
Jawa Timur yang sangat disegani dan dihormati Gus Miek selain KH. Hamid
Pasuruan. Hampir pada setiap acara haulnya, Gus Miek selalu hadir
sebagai wujud penghormatan kepada orang yang sangat dicintainya itu.
Kisah Gus Miek dan KH. Achmad Siddiq
Selain cerita sebagaimana yang telah
diuraikan di muka dalam pembahasan Gus Ud Pagerwojo dan KH. Hamid
Pasuruan, ada beberapa cerita yang berkaitan dengan KH. Ahmad Siddiq.
KH. Ahmad Siddiq, yang kebetulan istrinya dari Tulungagung, bila berada
di Tulungagung, dalam pidato-pidatonya juga selalu mnyerang Gus Miek
sebagai seorang kiai yang kebiasaannya tidak sesuai dengan syari’at.
Mungkin KH. Ahmad Siddiq lupa pada peristiwa 16 tahun sebelumnya saat
dia sowan kepada Gus Ud, Pagerwojo, Sidoarjo, di mana secara tersirat
Gus Ud menunjukkan bahwa Gus Miek adalah yang sulit diterima nalar
biasa. Bahkan KH. Ahmad Siddiq sendiri oleh Gus Ud justru disuruh
meminta doa Al-Fatehah kepada Gus Miek.
Bila mendengar semua itu, Gus Miek hanya tersenyum dan berkomentar:
“Kiai ini berani. Sungguh kiai ini pemberani,” sambil tersenyum dan
mengacungkan jempol. Kepada Amar Mujib (adik ipar KH. Ahmad Siddiq) Gus
Miek berpesan: “Mar, apakah kamu hobi pidato? Kamu jangan suka pidato!
Sebab, orang itu bila pidato, kalau hakikat-nya tidak kuat, akan
berbahaya. Orang itu yang baik di dalam-nya, bukan luar-nya.”
KH. Ahmad Siddiq saat berada di
Tulungagung pernah bertanya kepada: “Amar, jawablah dengan jujur,
sejujur-jujurnya, dan jangan ada yang kau sembunyikan: benarkah Gus Miek
itu bila menghadiri undangan perkawinan, selalu langsung menuju tempat
kaum perempuan dan mengambil tempat berbaur bersama mereka?”
Amar yang sejak pertama sudah tahu bahwa
KH. Ahmad Siddiq sangat anti dengan Gus Miek merasa terpanggil untuk
membela Gus Miek.“Benar,” jawab Amar.
“Bukankah itu tidak pantas dilakukan oleh seorang kiai?” Tanya KH. Ahmad Siddiq.
”Lalu, mengapa kau masih mengikutinya dan memujanya!” Tanya KH. Ahmad Siddiq.
“Semua pendapat Mas Ahmad benar. Hanya
saja Gus Miek pernah berkata kepada saya bahwa bila berdakwah di sebuah
keluarga, kalau tidak bisa masuk dari pintu depan maka berusahalah masuk
dari pintu belakang. Kalau tidak bisa kepada suaminya maka berdakwahlah
kepada istrinya. Sehingga bila suaminya lalai menjalankan shalat karena
malas atau kesibukan kerja, istri bisa mengingatkannya. Sebab yang
paling dekat dengan suaminya dalam ibadah dan rumah tangga adalah istri.
Bukan kiai, “jawab Amar.
KH. Ahmad Siddiq hanya diam merenungkan
jawaban Amar Mujib. Amar Mujib pun diam di samping kakak iparnya. Sudah
menjadi rahasia umum di kalangan pengikut Gus Miek bahwa setiap santri
yang dekat dengan Gus Miek, seolah merasakan suatu kekuatan dan
keberanian yang luar biasa dalam menghadapi siapa saja, termasuk tokoh
besar.
Setiap berada di Tulungagung, KH. Ahmad
Siddiq mencoba mencari tahu siapakah Gus Miek yang sebenarnya dari adik
iparnya. Ini tentu saja sebuah proses pergolakan batin yang panjang dan
berat bagi KH. Ahmad Siddiq. Di samping karena dahulunya dia sudah
dikenal luas sangat memusuhi Gus Miek, juga karena harus merombak
persepsinya tentang sosok wali yang selama ini dipahaminya dan
diyakininya dari kitab ketika harus berhadapan dengan sosok kewalian Gus
Miek.
Berikutnya, mulai timbul kegaluan di hati
KH. Ahmad Siddiq. Hal ini terjadi karena Gus Miek membantu
menyelesaikan persoalan anaknya, meski bukan karena keinginannya.
Terlebih lagi dengan adanya pernyataan-pernyataan KH. Hamid Pasuruan
(yang masih saudaranya) yang sangat menghormati dan mendukung Gus Miek,
sebagaimana yang telah diceritakan di muka.
Setelah beberapa hari berlalu, KH. Ahmad Siddiq kembali menemui Amar Mujib.
“Amar, pertemukan aku dengan Gus Miek,” kata KH. Ahmad Siddiq.
“Untuk apa bertemu Gus Miek?” Tanya Amar
curiga karena dia tidak ingin terjadi permasalahan antara KH. Ahamad
Siddiq sebagai kakak iparnya dengan Gus Miek sebagai gurunya.
“Aku hanya ingin bertanya apakah yang
telah aku pahami dari kitab-kitab dan aku jalankan selama ini sudah
benar,” jawab KH. Ahmad Siddiq.
Beberapa hari kemudian, Amar bertemu Gus
Miek dan menyampaikan permintaan KH. Ahmad Siddiq. Gus Miek hanya diam
dan tidak memberi jawaban.
KH. Ahmad Siddiq yang belum mendapat
kepastian, kembali meminta bantuan Amar Mujib untuk dipertemukan dengan
Gus Miek. Pada masa itu, Gus Miek memang sulit ditemui dan selalu
berpindah-pindah sehingga hanya orang-orang terdekat seperti Amar Mujib
saja yang bisa menemui Gus Miek. Amar pun melaporkan hal itu kepada Gus
Miek. Akan tetapi Gus Miek masih tetap belum memberikan jawaban. Baru
pada permintaan yang ketiga, Gus Miek menyanggupi. Kebetulan Gus Miek
saat itu berada di rumah Mulyadi, Jember. Tetapi Gus Miek mengancam
Amar, bila undangan itu hanya untuk memperolok dirinya, Gus Miek akan
membunuh Amar.
Hal ini terjadi karena pada saat itu KH.
Ahmad Siddiq telah mulai membuka diri untuk mendukung perjuangan Gus
Miek dan dengan menimbang potensi KH. Ahmad Siddiq sebagai orang penting
dalam jajaran NU wilayah Jawa Timur. Apalagi, pada masa itu, KH. Mahrus
Ali sebagai anggota PBNU, menentang keberadaan Gus Miek dan
perjuangannya. KH. Mahrus Ali adalah ulama yang sangat kuat (keras)
dalam memegang syariat dan kitab kuning, sedangkan Gus Miek dianggab
menyimpang dari ketentuan kitab-kitab dan syariat oleh KH. Mahrus Ali.
Belum lagi pembelaan Gus Miek kepada perjuangan Wahidiyah di masa lalu.
Penentangan KH. Mahrus Ali terhadap Wahidiyah sedemikian kerasnya,
bahkan ia membuat larangan tertulis bagi seluruh santri lirboyo agar tak
ikut mengamalkan Wahidiyah. Larangan itu masih tetap dijadikan pegangan
sampai sekarang.
Sebenarnya, ketidakcocokan itu bukan
hanya muncul dari KH. Mahrus Ali saja. Banyak juga ulama lain yang sama
dengan pemikiran KH. Mahrus Ali. Bahkan keluarga ploso yang awalnya
mendukung Gus Miek, pada akhirnya memisahkan diri dan melarang sebagian
jama’ahnya mengamalkan Wahidiyah.
Jadi, perseteruan (lebih tepatnya kesalahpahaman) antara KH. Mahrus Ali dengan Gus Miek ini, di samping persoalan syari’at yang secara kasat mata Gus Miek memang tidak menerapkannya, juga bisa jadi lantaran KH. Mahrus Ali belum tahu bahwa Gus Miek telah berpisah dengan Wahidiyah karena Gus Miek belum menyatakan secara terbuka. Meskipun demikian, beberapa putra Lirboyo telah akrab dengan Gus Miek, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.
Jadi, perseteruan (lebih tepatnya kesalahpahaman) antara KH. Mahrus Ali dengan Gus Miek ini, di samping persoalan syari’at yang secara kasat mata Gus Miek memang tidak menerapkannya, juga bisa jadi lantaran KH. Mahrus Ali belum tahu bahwa Gus Miek telah berpisah dengan Wahidiyah karena Gus Miek belum menyatakan secara terbuka. Meskipun demikian, beberapa putra Lirboyo telah akrab dengan Gus Miek, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.
Keterbukaan KH. Ahmad Siddiq ini membuat
Gus Miek tidak menyia-nyiakan kesempatan sehingga Gus Miek memfokuskan
konsentrasinya untuk berdakwah di Jember dan sekitarnya. Ada sebuah
rencana besar yang disusun Gus Miek pada KH. Ahmad Siddiq untuk
mendukung kesuksesan dakwahnya sehubungan dengan keluarganya dan NU
karena Gus Miek sama sekali tidak mungkin untuk bermain di dalam NU
disebabkan ia bukan bagian dari jajaran pengurus NU. Gus Miek juga
memilih untuk tidak terlibat dalam hiruk pikuknya para ulama NU,
terutama dalam hal politik.
Gus Miek diantar oleh Amar, akhirnya
menemui KH. Ahmad Siddiq. Setelah berbasa-basi keduanya terlibat
pembicaraan empat mata yang sangat serius selama hamper tujuh jam.
Sementara Amar menunggu di luar karena sungkan dengan KH. Ahmad Siddiq;
walaupun kakak iparnya, tetapi KH. Ahmad Siddiq adalah ulama besar. Di
luar kamar, Amar gelisah menunggu, hatinya berdebar-debar penuh
kecemasan terhadap apa yang akan terjadi antara Gus Miek dengan KH.
Ahmad Siddiq. Kemudian, Gus Miek keluar dari ruangan dengan bintik-bintk
keringat di wajahnya, lalu mengajak Amar kembali ke rumah Mulyadi.
Selang beberapa bulan, KH. Ahmad Siddiq kembali menemui Amar Mujib di Tulungagung.
“Mar, pertemukan aku dengan Gus Miek,” kata KH. Ahmad Siddiq.
“Mau apalagi, Mas? Bukankah dulu sudah bertemu?” Tanya Amar.
“Ibarat aku berada di puncak gunung, aku
ingin memastikan, bila Gus Miek diibaratkan telaga itu dalam, aku hendak
terjun ke dalamnya. Bila ternyata dangkal, aku tidak mau mati bunuh
diri,” jawab KH. Ahmad Siddiq.
Akhirnya, Amar kembali melporkan hal itu
kepada Gus Miek. Semenjak saat itu, Gus Miek menjadi semakin akrab
dengan KH. Ahmad Siddiq, dan KH. Ahmad Siddiq sering menemui Gus Miek
tanpa melalui perantaraan Amar Mujib lagi. Perlu diketahui bahwa sejak
1968, antara Gus Miek dengan KH. Ahmad Siddiq telah mulai terlibat
pembicaraan serius mengenai NU kembali ke khittah 1926. Baru pada 1984,
pemikiran tersebut diterima oleh NU dalam muktamar di Situbondo.
Gus Miek juga pernah mengajak KH. Ahmad
Siddiq ziarah ke makam Gunungpring. Sampai di lokasi makam, Gus Miek
memberikan amalan bacaan agar dibaca KH. Ahmad Siddiq saat ziarah, lalu
Gus Miek pergi entah ke mana. KH. Ahmad Siddiq yang saat itu belum
begitu percaya akan kelebihan Gus Miek, terutama dalam hubungannya
dengan para wali, lalu membaca bacaan itu.
KH. Ahmad Siddiq menjadi gemetar karena yang terlihat di matanya, semua makam itu terbuka dan penghuni makam itu keluar, berbaju putih melayang ke angkasa. Sementara di angkasa telah menunggu pangeran Diponegoro yang naik kuda lengkap dengan kerisya, diiringi beberapa wali songo. Rombongan itu kemudian beriringan melesat ke arah timur. Setelah rombongan itu tak terlihat, KH. Ahmad Siddiq tergagap dengan tubuh gemetar dan keringat dingin. Sementara suasanan makam sangat sepi. Beberapa saat kemudian Gus Miek datang, sebelum KH. Ahmad Siddiq yang kebingungan menyampaikan apa yang baru saja dilihatnya.
KH. Ahmad Siddiq menjadi gemetar karena yang terlihat di matanya, semua makam itu terbuka dan penghuni makam itu keluar, berbaju putih melayang ke angkasa. Sementara di angkasa telah menunggu pangeran Diponegoro yang naik kuda lengkap dengan kerisya, diiringi beberapa wali songo. Rombongan itu kemudian beriringan melesat ke arah timur. Setelah rombongan itu tak terlihat, KH. Ahmad Siddiq tergagap dengan tubuh gemetar dan keringat dingin. Sementara suasanan makam sangat sepi. Beberapa saat kemudian Gus Miek datang, sebelum KH. Ahmad Siddiq yang kebingungan menyampaikan apa yang baru saja dilihatnya.
Gus Miek berkata: “Benar, Kiai, rombongan Pangeran Diponegoro dan wali songo itu akan menghadiri sidang para wali di Ampel.”
Sebenarnya, masih banyak cerita mengenai
kedekatan Gus Miek dengan beberapa tokoh besar yan lain. Misalnya, Gus
Miek dengan keluarga KH. Ashari. Suatu hari, Gus Miek mengajak Mulyadi,
yang punya Fiat, bersama sunyoto ke Lempuyangan, Yogyakarta, untuk
menghadiri haul KH. Ashari yang ke-8. Tiba di Lempuyangan, KH. Hamid
Kajoran telah menyambutnya di depan pintu. Kemudian mereka bersama masuk
ke ruang tamu. Tiba-tiba, Nyai Ashari muncul dari dalam, bersalaman
dengan Gus Miek dan minta doa darinya. Gus Miek yang telah menganggap
Nyai Ashari sebagai ibunya yang ketiga setelah Nyai Rodhiyah dan Nyai
Mujib, hanya mengiyakan saja.
Gus Miek, 15 hari sebelum wafatnya Nyai
Ashari (ibu dari KH. Daldiri), telah datang ke Lempuyangan. Kepada
Muhyidin dan Ambar (putri Nyai Ashari), Gus Miek memberikan secarik
kertas bertuliskan Khodijah binti Muhyidin dan Hadi bin Ismail sambil
berkata: “Ini, aku terakhir kali sowan Bu Nyai.” Semua keluarga
Lempuyangan bertanya-tanya tentang maksud Gus Miek: apakah Gus Miek
tidak akan datang lagi ke Lempuyangan atau ada maksud lain? Nyai Ashari,
yang oleh Gus Miek telah dianggap sebagai ibunya yang ketiga setelah
ibunya sendiri dan Nyai Mujib, ternyata 15 hari kemudian wafat. Dan,
Khodijah binti Muhyidin berpuluh tahun kemudian benar-benar menikah
dengan Hadi bin Ismail.
Pada 1980, Gus Miek kembali melanjutkan safarinya. Dari Jember bersama jama’ah berangkat ke Yogyakarta. Tiba di Klaten, Gus Miek mengajak mampir ke KH. Mansyur, Popongan, Klaten. Saat jama’ah sowan dan ziarah, Gus Miek jalan-jalan entah kemana. Setelah jama’ah berwudhu dan berkumpul di makam, tiba-tiba Gus Miek muncul di belakang, berjalan sambil memimpin tawasulan Al-Fatihah.
Pada 1980, Gus Miek kembali melanjutkan safarinya. Dari Jember bersama jama’ah berangkat ke Yogyakarta. Tiba di Klaten, Gus Miek mengajak mampir ke KH. Mansyur, Popongan, Klaten. Saat jama’ah sowan dan ziarah, Gus Miek jalan-jalan entah kemana. Setelah jama’ah berwudhu dan berkumpul di makam, tiba-tiba Gus Miek muncul di belakang, berjalan sambil memimpin tawasulan Al-Fatihah.
Dari Popongan, Gus Miek mengajak ke makam
KH. Abdurrhman bin Hasyim, Krapyak. Di rumah KH. Abdurrahman bin Hsyim
(Mbah Benu), yang menyambut adalah putranya yang telah lama tidak
bertemu Gus Miek sejak Gus Miek masih berambut panjang. Keduanya
berpelukan, setelah itu ziarah ke makam KH. Abdurrahman.
Di pinggir sungai, Gus Miek berkata
kepada Sunyoto dan Jupri: “Mbah Benu itu memang tidak mau makamnya
dirawat. Pernah salah seorang santrinya yang sukses datang membawa kayu
dan genting tanpa membicarakan terlebih dahulu dengan keluarga Mbah
Benu. Dari pagi hingga Ashar, bangunan itu akhirnya jadi, tetapi waktu
subuh bangunan itu sudah berada di tengah sungai. Akhirnya, oleh
keluarganya diberi tahu bahwa Mbah Benu tak berkenan.” Demikianlah
ajaran “kemiskinan” yang di ambil Gus Miek dari KH. Abdurrahman untuk
jama’ahnya yang saat itu kebanyakan pegawai pemerintah.
Ketertundukan Binatang
Ketika gus miek baru mulai bisa
merangkak, saat itu ibunya membawa ke kebun untuk mengumpulkan kayu
bakar dan panen kelapa, bayi itu ditinggalkan sendirian di sisi kebun,
tiba-tiba dari semak belukar muncul seekor harumau. Spontan sang ibu
berlari menjauh dan luapa bahwa bayinya tertinggal. Begitu sadar, sang
ibu kemudian berlari mencari anaknya. Tetapi, sesuatu yang luar biasa
terjadi. Ibunya melihat harimau itu duduk terpaku di depan sang bayi
sambil menjilagti kuku-kukunya seolah menjaga sang bayi.
Peristiwa ketertundukan binatang ini
kemudian berlanjut hingga Gus Miek dewasa. Di antara kejadian itu adalah
Misteri Ikan dan Burung Raksasa. Gus Miek yang sangat senang bermain di
tepi sungai Brantas dan menonton orang yang sedang memancing, pada saat
banjir besar Gus Mik tergelincir ke sungai dan hilang tertelan gulungan
pusaran air. sampai beberapa jam, santri yang ditugaskan menjaga Gus
Miek, mencari di sepanjang pinggiran sungai dengan harapan Gus Miek akan
tersangkut atau bisa berenang ke daratan. Tetapi, Gus Miek justru
muncul di tengah sungai, berdiri dengan air hanya sebatas mata kaki
karena Gus Miek berdiri di atas punggung seekor ikan yang sangat besar,
yang menurut Gus Miek adalah piaraan gurunya. Pernah suatu hari, ketika
ikut memancing, kail Gus Miek dimakan ikan yang sangat besar. Saking
kuatnya tenaga ikan itu, Gus Miek tercebur ke sungai dan tenggelam.
Pengasuhnya menjadi kalang kabut karena tak ada orang yang bisa
menolong, hari masih pagi sehingga masih sepi dari orang-orang yang
memancing. Hilir mudik pengasuhnya itu mencari Gus Miek di pinggir
sungai dengan harapan Gus Miek dapat timbul kembali dan tersangkut.
Tetapi, setelah hampir dua jam tubuh Gus Miek belum juga terlihat,
membuat pengasuh itu putus asa dan menyerah.
Karena ketakutan mendapat murka dari KH.
Djazuli dan Ibu Nyai Rodyiah, akhirnya pengasuh itu kembali ke pondok,
membereskan semua bajunya ke dalam tas dan pulang tanpa pamit. Dalam
cerita yang disampaikan Gus Miek kepada pengikutnya, ternyata Gus Miek
bertemu gurunya. Ikan tersebut adalah piaraan gurunya, yang memberitahu
bahwa Gus Miek dipanggil gurunya. Akhirnya, ikan itu membawa Gus Miek
menghadap gurunya yaitu Nabi Khidir. Pertemuan itu menurut Gus Miek
hanya berlangsung selama lima menit. Tetapi, kenyataannya Gus Miek naik
ke daratan dan kembali ke pondok sudah pukul empat sore. beberapa bulan
kemudian, setelah mengetahui bahwa Gus Miek tidak apa-apa, akhirnya
kembali ke pondok.
Pada suatu malam di ploso, Gus Miek
mengajak Afifudin untuk menemaninya memancing di sungai timur pondok Al
Falah. Kali ini, Gus Miek tidak membawa pancing, tatapi membawa cundik.
Setelah beberapa lama menunggu, hujan mulai turun dan semakin lama
semakin deras. Tetapi, Gus Miek tetap bertahan menunggu cundiknya
beroleh ikan meski air sungai brantas telah meluap. Menjelang tengah
malam, tiba-tiba Gus Miek berdiri memegangi gagang cundik dan berusaha
menariknya ke atas. Akan tetapi, Gus Miek terseret masuk ke dalam
sungai. Afifudin spontan terjun ke sungai untuk menolong Gus Miek. Oleh
Afifudin, sambil berenang, Gus Miek ditarik ke arah kumpulan pohon bambu
yang roboh karena longsor. Setelah Gus Miek berpegangan pada bambu itu,
Afifudin naik ke daratan untuk kemudian membantu Gus Miek naik ke
daratan. Sesampainya di darat, Gus Miek berkata “Fif, ini kamu yang
terakhir kali menemaniku memancing. Kamu telah tujuh kali menemaniku dan
kamu telah bertemu dengan guruku.“ Afifudin hanya diam saja. Keduanya
lalu kembali kepondok dan waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.
Gus Miek Wafat
Tepat tanggal 5 juni 1993 Gus Miek
menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Budi mulya Surabaya
(sekarang siloam). Kyai yang nyeleneh dan unik akhirnya meninggalkan
dunia dan menuju kehidupan yang lebih abadi dan bertemu dengan Tuhannya
yang selama ini beliau rindukan. Semoga amal ibadah beliau di terima
oleh Allah SWT dan semoga kesalahan-kesalahan beliau juga di ampuni oleh
Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin….
Biografi KH Abdul Hamid © KH.
Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem,
Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985. Pendidikan: Pesantren
Talangsari, Jember; Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren
Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian: pengasuh Pesantren Salafiyah,
Pasuruan
BIOGRAFI KH. HAMID PASURUAN

Kesabarannya memang diakui tidak hanya
oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat
islam yang pernah mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik kepada
santri maupun kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari
tua, khususnya setelah menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya
di masa muda.
“Kiai Hamid dulu sangat keras,” kata Kiai
Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber Girang, sebuah desa di
Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga
dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di
antara ke 12 saudara kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup,
yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara
seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan
Nashriyah, ketiganya di Pasuruan. Hamid dibesarkan di tengah keluarga
santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya
adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember,
Jawa Timur.
Masa Kecil
Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz
Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro’is Am NU. Keluarga
Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia
pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil
dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar
membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai
mengajarinya ilmu fiqh dasar.
Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu
mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH.
Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan
Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun
kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi
wali dan ulama besar.
“Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu
dengan Rasulullah,” katanya. Dalam kepercayaan yang berkembang di
kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat
sekali waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan
dalam mimpi saja, tapi secara nyata.
Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam
legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari
ayahnya dan para ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai berkelana.
Mula-mula ia belajar di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari,
Jember. Tiga tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk pergi haji yang
pertama kali bersama keluarga, paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama
kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan
desa-desa sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain.
Pada usia 18 tahun, ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur.
Konon, seperti dituturkan anak bungsunya
yang kini menggantikannya sebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, H.
Idris, “Pesantren itu sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan
administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu
telah melahirkan banyak ulama terkemuka, antara lain KH Ali Ma’shum,
mantan Ro’is Am NU.” Menurut Idris, inilah pesantren yang telah banyak
berperan dalam pembentukan bobot keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar
berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di
Pasuruan, bersama orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak
pernah Padam. Dengan tekun, setiap hari ia mengikuti pengajian Habib
Ja’far, ulama besar di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf.
Menjadi Blantik
Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan
sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan
ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga
orang yang masih hidup, yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris.
Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan
berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup
bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi
keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi,
sebagai blantik (broker) sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu
itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya
Pasuruan.
Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan
Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan orangtuanya selama dua
tahun tidak patut (tidak mau akur). Namun ia menghadapinya dengan tabah.
Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga
muda itu.
Terutama bagi sang istri Nafisah yang
begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke
Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang
amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula,
padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu
membawanya bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri
Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah
tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun.
Tapi, tak pernah sekalipun terdengar
keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga
tak ada orang lain yang mengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak digudo karo
anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate (Orangtua kalau tidak
pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik
derajatnya)”, katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak
merepotkan.
Kesabaran beliau juga diterapkan dalam
mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah mendapat marah, apalagi
pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan
pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan
tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat
tegas.
Merupakan keharusan bagi anak-anaknya
untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan shalat subuh,
meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka, Hamid juga
memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa
kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja, Hamid lebih suka
menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain.
Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga
istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang
diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan
dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab,
lalu dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris,
yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah
al-Hidayah karya Imam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah
amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri,” jelasnya.
Amalan dari kitab itu pula yang
ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-pesantren
tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu
tertentu – misainya alat (gramatika bahasa Arab) atau fiqh, maka
salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang
santri yang baik.
Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para
santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan
pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi
jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid
sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu
yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir
kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum.
Mushalla pesantren dan pelatarannya
setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian
selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi
juga kota-kota Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota
Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya
al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya membaca beberapa
baris dari kitab itu.
Selebihnya adalah cerita-cerita tentang
ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur
deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok
ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya ‘Ulum
ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah
yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi
mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan
perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah.
Ia suka berpakaian dan bersorban yang
serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi,
tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang
berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di
sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,”
katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah
orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu berusaha
melawan nafsu.
Hasan Abdillah bercerita, suatu kali
Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi
(tirakat). Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan
roti. Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak
semuanya, melainkan kulitnya saja. “O, rupanya dia suka kulit roti,”
pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar,
lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku
bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena
aku bertirakat,” ujarnya.
Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari
mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia
selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid
mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu.
Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain,
suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur (menyenangkan
orang lain) seperti dianjurkan Nabi. Misalnya, jika bertamu dan sedang
berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah,
sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi
undangan, di manapun dan oleh siapapun.
Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus
surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran (yang
dipahami secara sederhana) mengenai kepedulian sosial islam terhadap
kaum dlu’afa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Memang
karikaturis – meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang sifatnya.
Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang
ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, kita dapat
memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari
motivasi keagamaan yang “egoistis”, dalam arti hanya untuk mendapat
pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat
melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah membentuk tanggung jawab
sosial dalam dirinya meski tidak tuntas.
Ajaran Islam, tanggung jawab sosial
mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga
paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada
Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga
memberikan bantuannya secara rutin, terutama bila mereka sedang
mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anaknya.
H. Misykat yang mengabdi padanya hingga
ia meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat,
Kiai Hamid memberi uang RP. 10.000 plus 10 kg. beras. Islam
mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan
bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah puasa sebulan
penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid
tidak menerima hadiah dan zakat fitri.
BIOGRAFI MBAH DALHAR
Kiai Haji Dalhar, Watucongol, Magelang
dikenal sebagai salah satu guru para ulama. Kharisma dan ketinggian
ilmunya menjadikan rujukan umat Islam untuk menimba ilmu. Mbah Dalhar ,
begitu panggilan akrabnya adalah sosok yang disegani sekaligus panutan
umat Islam, terutama di Jawa Tengah. Salah satu mursyid tarekat
Syadziliyah ini dikenal juga menelorkan banyak ulama yang mumpuni.
Nasabnya
Mbah Dalhar dilahir kan pada 10 Syawal
1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M) di Watucongol,
Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Lahir dalam lingkungan keluarga santri
yang taat. Sang ayah yang bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan
Tuqo adalah cucu dari Kyai Abdurrauf. Kekeknya mbah Dalhar dikenal
sebagai salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Adapun nasab
Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau
Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo
juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Masa Kanak-Kanak
Semasa kanak–kanak, Mbah Dalhar belajar
Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri. Pada
usia 13 tahun baru mondok di pesantren. Ia dititipkan oleh ayahnya pada
Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang,
Ngadirejo, Salaman, Magelang. Di bawah bimbingan Mbah Mad Ushul , ia
belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Kemudian tercatat juga mondok di Pondok
Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen pada umur 15 tahun. Pesantren ini
dipimpin oleh Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani
atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Selama
delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Selama itulah
Mbah Dalhar berkhidmah di ndalem pengasuh. Hal itu terjadi atas dasar
permintaan ayahnya kepada Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani
Al-Hasani.
Jalan Kaki dan Pemberian Nama
Tidak hanya di daerah sekitar Mbah Dalhar
menimba ilmu. Di Makkah Mukaramah beliau berguru kepada beberapa alim
ulama yang masyhur. Perjalalannya ke tanah suci untuk menuntut ilmu
terjadi pada tahun 1314 H/1896 M. Mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya,
Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani
putera laki – laki tertuanya Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani
untuk menuntut ilmu di Mekkah. Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani berkeinginan menyerahkan pendidikan puteranya kepada
shahib beliau yang menjadi mufti syafi’iyyah Syeikh As Sayid Muhammad
Babashol Al-Hasani.
Keduanya berangkat ke Makkah dengan
menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas,Semarang. Ada
sebuah kisah menarik tentang perjalanan keduanya. Selama perjalanan dari
Kebumen dan singgah di Muntilan, kemudian lanjut sampai di Semarang,
Mbah Dalhar memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang
dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Hal ini dikarenakan sikap takdzimnya
kepada sang guru. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah
Kyai Dalhar agar naik kuda bersama.
Di Makkah (waktu itu masih bernama
Hijaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama
tempat para santri tinggal) Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani
yaitu didaerah Misfalah.
Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya
sempat belajar pada Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3
bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama Hijaz untuk
memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan
sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar
ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol
Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kyai
Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama
Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan
untuk beliau oleh Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya
atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih
masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai
“Dalhar”.
Ketika berada di Hijaz inilah mbah Kyai
Dalhar memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari
Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid
Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu
menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan.
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah.
Sehingga pantas saja jika menurut riwayat
shahih yang berasal dari para ulama ahli hakikat sahabat – sahabatnya,
beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah Khidhr as.
Sampai–sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr karena tafaullan
dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup ‘alim
walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika usianya
belum menginjak dewasa.
Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar
pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit
tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka
hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam
secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan
riyadhah khusus untuk mendoakan para keturunan beliau serta para santri –
santrinya.
Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah
Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah
Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari keluar tanah
Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala
thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga senang melakukan dzikir
sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirrnya ini, mbah Kyai Dalhar
dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam
hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad Abdul
Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3
orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek
penulis sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq. Sahrallayal (meninggalkan
tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar. Sampai
dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat
kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Murid dan Karya – karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini
dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani.
Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil
Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam
thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini masih dalam
penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat
diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq
ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz
bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol,
setelah menyusun kitab tersebut di Termas. Dimana pada saat tersebut
belum muncul tashrifan ala Jombang.
Banyak sekali tokoh–tokoh ulama terkenal
negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920
– 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus,Lirboyo ; KH Dimyati
Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dan lain sebagainya. Sesudah mengalami
sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu
Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April
1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959.
Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis
Pahing. Semoga amal ibadah beliau di terima oleh Allah SWT dan semoga
kesalahan-kesalahan beliau juga di ampuni oleh Allah SWT. Aamiin.BIOGRAFI MBAH DIMYATI BANTEN

Nama lengkapnya
Muhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad
Amin. Dikenal sebagai ulama yang sangat kharismatik. Muridnya ribuan dan
tersebar hingga mancanegara. Abuya dimyati orang Jakarta biasa menyapa,
dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak kenal menyerah. Hampir
seluruh kehidupannya didedikasikan untuk ilmu dan dakwah.
Menelusuri kehidupan ulama Banten ini
seperti melihat warna-warni dunia sufistik. Perjalanan spiritualnya
dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar Watucongol. Perjuangannya
yang patut diteladani. Bagi masyarakat Pandeglang Provinsi Banten Mbah
Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan. Lahir sekitar tahun 1919
dikenal pribadi bersahaja dan penganut tarekat yang disegani.
Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru
pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah. Pondoknya di
Cidahu, Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari para tamu maupun
pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai.
Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru
dan kiainya dari para kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga
sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati dikenal sosok ulama yang
mumpuni. Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan
kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya dikenalsebagai penganut
tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.
Tidak salah kalau sampai sekarang telah
mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar di seluruh penjuru tanah air
bahkan luar negeri. Sewaktu masih hidup , pesantrennya tidak pernah sepi
dari kegiatan mengaji. Bahkan Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang
namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki seperti ini karena tiap
dinding dari tempat pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di
tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-tamu penting seperti pejabat
pemerintah maupun para petinggi negeri. Majelis Seng inilah yang
kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari semenjak kebakaran
hingga sampai wafatnya.
Lahir dari pasangan H.Amin dan Hj.
Ruqayah sejak kecil memang sudah menampakan kecerdasannya dan
keshalihannya. Beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren seperti
Pesantren Cadasari, Kadupeseng Pandeglang. Kemudian ke pesantren di
Plamunan hingga Pleret Cirebon.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di
tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid,
Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi
Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat
Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada
Syech Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah
memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya
berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.
Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut
adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna disamping
sebagai pakunya negara Indonesia. Setelah Abuya berguru, tak lama
kemudian para kiai sepuh wafat.
Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah
diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya
datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada
santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti
mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok
lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek
kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan
‘Mbah Dim Banten’. Karena, kewira’iannya di setiap pesantren yang
disinggahinya selalu ada peningkatan santri mengaji.
Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal
sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat
Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten.
Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu
hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah: “Jangan
sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan
ini sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan
khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu
kali!
Salah satu cerita karomah yang
diceritakan Gus Munir adalah, dimana ada seorang kyai dari Jawa yang
pergi ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di Irak. Ketika itu, kyai
tersebut merasa sangat bangga karena banyak kyai di Indonesia paling
jauh mereka ziarah adalah maqam Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dia dapat
menziarahi sampai ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. ketika sampai
di maqam tersebut, maka penjaga maqam bertanya padanya, “darimana kamu
(Bahasa Arab)”.
si Kyai menjawab, “dari Indonesia”.
si Kyai menjawab, “dari Indonesia”.
maka penjaganya langsung bilang, “oh di
sini ada setiap malam Jum’at seorang ulama Indonesia yang kalau datang
ziarah dan duduk saja depan maqam, maka segenap penziarah akan diam dan
menghormati beliau, beliau membaca al-Qur’an, maka penziarah lain akan
meneruskan bacaan mereka.”
Maka Kyai tadi kaget, dan berniat untuk
menunggu sampai malam Jum’at agar tahu siapa sebenarnya ulama tersebut.
Ternyata pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama tersebut adalah Abuya
Dimyati. Maka kyai tersebut terus kagum, dan ketika pulang ke Jawa, dia
menceritakan bagaimana beliau bertemu Abuya Dimyati di maqam Syeikh
Abdul Qadir al-Jailani (ketika itu Abuya masih di pondok dan mengaji
dengan santri-santrinya).
Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau
adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau
terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.
Abuya Dimyathi menempuh jalan spiritual
yang unik. Beliau secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!”
(Jalan saya adalah ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat keulamaan
seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap
ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadits nabi al-Ulama’u
waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi.
Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu.
Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji,
tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat
bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas
makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya.
Alam Spritual
Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya
Dimyati ini menempuh jalan spiritual yang unik. Dalam setiap perjalanan
menuntut ilmu dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain selalu
dengan kegiatan Abuya mengaji dan mengajar. Hal inipun diterapkan kepada
para santri. Dikenal sebagai ulama yang komplet karena tidak hanya
mampu mengajar kitab tetapi juga dalam ilmu seni kaligrafi atau khat.
Dalam seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan semua jenis kaligrafi
seperti khufi, tsulust, diwani, diwani jally, naskhy dan lain
sebagainya. Selain itu juga sangat mahir dalam ilmu membaca al Quran.
Bagi Abuya hidup adalah ibadah. Tidak
salah kalau KH Dimyati Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah pernah berucap
bahwa belum pernah seorang kiai yang ibadahnya luar biasa. Menurutnya
selama berada di kaliwungu tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak
pukul 6 pagi usdah mengajar hingga jam 11.30. setelah istirahat sejenak
selepas Dzuhur langsung mengajar lagi hingga Ashar. Selesai sholat ashar
mengajar lagi hingga Maghrib. Kemudian wirid hingga Isya. Sehabis itu
mengaji lagi hingga pukul: 24 malam. Setelah itu melakukan qiyamul lail
hingga subuh.
Di sisi lain ada sebuah kisah menarik.
Ketika bermaksud mengaji di KH Baidlowi, Lasem. Ketika bertemu
dengannya, Abuya malah disuruh pulang. Namun Abuya justru semakin
menggebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai akhirnya kiai Khasrtimatik itu
menjawab, “Saya tidak punya ilmu apa-apa.”
Sampai pada satu kesempatan, Abuya
Dimyati memohon diwarisi thariqah. KH Baidlowio pun menjawab,”Mbah Dim,
dzikir itu sudah termaktub dalam kitab, begitu pula dengan selawat,
silahkan memuat sendiri saja, saya tidak bisa apa-apa, karena tarekat
itu adalah sebuah wadzifah yang terdiri dari dzikir dan
selawat.” Jawaban tersebut justru membuat Abuya Dimyati penasaran. Untuk
kesekian kalinya dirinya memohon kepada KH Baidlowi. Pada akhirnya Kiai
Baidlowi menyuruh Abuya untuk sholat istikharah. Setelah melaksanakan
sholat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya mendatangi KH
Baidlowi yang kemudian diijazahi Thariqat Asy Syadziliyah.
Abuya Dimyati Dipenjara
Mah Dim dikenal seagai salah satu orang
yang sangat teguh pendiriannya. Sampai-sampai karena keteguhannya ini
pernah dipenjara pada zaman Orde Baru. Pada tahun 1977 Abuya sempat
difitnah dan dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini disebabkan Abuya
sangat berbeda prinsip dengan pemerintah ketika terjadi pemilu tahun
tersebut. Abuya dituduh menghasut dan anti pemerintah. Abuya pun
dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun empat bulan kemudian Abuya
keluar dari penjara.
Ada beberapa kitab yang dikarang oleh
Abuya Dimyati. Diantaranya adalah Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya
menguraikan tentang hizib Nashr dan hizib ikhfa. Dikarang pada bulan
Rajab H 1379/1959 M. Kemudian kitab Ashlul Qodr yang didalamya
khususiyat sahabat saat perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr
isinya menguraikan tentang hizib Nashr. Rochbul Qoir I dan II yang juga
sama isinya yaitu menguraikan tentang hizib Nashr. Selanjutnya kitab
Bahjatul Qolaid, Nadzam Tijanud Darori. Kemudian kitab tentang tarekat
yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah didalamnya membahas tentang
tarekat Syadziliyyah.
Abuya Dimyati Dan Mbah Latifah El Dalhar
Ada cerita-cerita menarik seputar Abuya
dan pertemuannya dengan para kiai besar. Disebutkan ketika bertemu
dengen Kiai Dalhar Watucongol Abuya sempat kaget. Hal ini disebabkan
selama 40 hari Abuya tidak pernah ditanya bahkan dipanggil oleh Kiai
Dalhar. Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil Mbah Dalhar. “Sampeyan mau
apa jauh-jauh datang ke sini?” tanya kiai Dalhar.
Ditanya begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau mondok mbah.”
Kemudian Kiai Dalhar pun berkata, ”Perlu sampeyan ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada pada diri sampeyan. Dari pada sampeyan mondok di sini buang-buang waktu, lebih baik sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih perlu diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.”
Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah untuk mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi? Kalau saya disuruh mengarang kitab, kitab apa yang mampu saya karang?”
Kemudian Kiai Dalhar pun berkata, ”Perlu sampeyan ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada pada diri sampeyan. Dari pada sampeyan mondok di sini buang-buang waktu, lebih baik sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih perlu diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.”
Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah untuk mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi? Kalau saya disuruh mengarang kitab, kitab apa yang mampu saya karang?”
Kemudian Kiai Dalhar memberi
saran,”Baiklah, kalau sampeyan mau tetap di sini, saya mohon ajarkanlah
ilmu sampeyan kepada santri-santri yang ada di sini dan sampeyan jangan
punya teman.” Kemudian Kiai Dalhar memberi ijazah tareqat Syadziliyah
kepada Abuya.
Karomah Abuya Dimyati
Salah satu cerita karomah yang
diceritakan Gus Munir adalah, dimana ada seorang kyai dari Jawa yang
pergi ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di Irak. Ketika itu, kyai
tersebut merasa sangat bangga karena tak banyak kyai di Indonesia yang
mengunjungi Irak, paling jauh mereka ziarah adalah makam Nabi Muhammad
SAW. Akan tetapi dia dapat menziarahi sampai ke Maqam Syeikh Abdul Qadir
al-Jailani. ketika sampai di maqam tersebut, maka penjaga makam
bertanya padanya, “darimana kamu (Bahasa Arab)”.
Si Kyai menjawab, “dari Indonesia”.
Maka penjaganya langsung bilang, “oh di
sini ada setiap malam Jum’at seorang ulama Indonesia yang kalau datang
ziarah dan duduk saja depan maqam, maka segenap penziarah akan diam dan
menghormati beliau, beliau membaca al-Qur’an, maka penziarah lain akan
meneruskan bacaan mereka.”
Maka Kyai tadi kaget, dan berniat untuk
menunggu sampai malam Jum’at agar tahu siapa sebenarnya ulama tersebut.
Ternyata pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama tersebut adalah Abuya
Dimyati.
Maka kyai tersebut terus kagum, dan
ketika pulang ke Jawa, dia menceritakan bagaimana beliau bertemu Abuya
Dimyati di maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani (ketika itu Abuya masih
di pondok dan mengaji dengan santri-santrinya).
Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau
adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau
terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.
Abuya Dimyati Wafat
Abuya Dimyati meninggalkan kita semua
pada Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar
pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah
kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad
Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78
tahun. Semoga amal ibadah beliau di terima oleh Allah SWT dan semoga
kesalahan-kesalahan beliau juga di ampuni oleh Allah SWT. Aamiin Yaa
Rabbal ‘Aalamiin…. BIOGRAFI MBAH KHOLIL BANGKALAN
Biografi KH Kholil Bangkalan Madura © Hari
Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, Abdul
Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan
Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur,
merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim
istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama
Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil.
KH. Abdul Lathif sangat berharap agar
anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek
moyangnya. Seusai mengadzani telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri
sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan
permohonannya.
Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga
ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan
Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul
Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai
Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman
adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif
mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena
memang dia masih terhitung keturunannya.
Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat
ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa,
kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa.
Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait
ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga
kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua
Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.
Belajar ke Pesantren
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun
1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Mbah Kholil muda belajar
kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa
Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil,
Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama
belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai Nur
Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur
Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri
sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda
rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya.
Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa
membaca Surah Yasin. Ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya
itu- khatam berkali-kali.
Orang yang Mandiri
Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda
tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada
alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi,
meskipun Mbah Kholil muda sebenarnya berasal dari keluarga yang dari
segi perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang
diperoleh ayahnya dalam bertani.
Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap saja
menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena
itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah Kholil tinggal di Keboncandi agar
bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah
dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Sewaktu menjadi Santri Mbah Kholil telah
menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa
Arab). Disamping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Quran. Beliau mampu
membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Quran).
Ke Mekkah
Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak
ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa
itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk
mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak
menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada
kedua orangtuanya.
Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar
otak untuk mencari jalan kluarnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke
sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal
mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di
Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada
gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang
diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil
menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan
rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah
Mbah Kholil bisa makan gratis.
Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya
mencapai 24 tahun, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi
sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak
perempuan Lodra Putih.
Setelah menikah, berangkatlah dia ke
Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari
hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan
selama pelayaran, konon, Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan
Mbah Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.
Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil
Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi
Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara gurunya di
Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini
Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul
Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal
diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin
Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang
digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada
umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syeikh dari berbagai madzhab yang
mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti
Madzhab Syafi’i tak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau
kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab
Syafi’i.
Konon, selama di Mekkah, Mbah Kholil
lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih
layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman
seangkatan Mbah Kholil antara lain: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syeikh Muhammad Yasin Al-Fadani.
Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan
temannya itu.
Kebiasaan memakan kulit buah semangka
kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari
Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.
Mbah Kholil sewaktu belajar di Mekkah
seangkatan dengan KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah dan KH.
Muhammad Dahlan. Namum Ulama-ulama dahulu punya kebiasaan memanggil Guru
sesama rekannya, dan Mbah Kholil yang dituakan dan dimuliakan di antara
mereka.
Sewaktu berada di Mekkah untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja mengambil upah sebagai
penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan
bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu:
Syeikh Nawawi Al-Bantani, Mbah Kholil dan Syeikh Shaleh As-Samarani
(Semarang) menyusun kaidah penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah
tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan
Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan
untuk penulisan bahasa Melayu.
Mbah Kholil cukup lama belajar di
beberapa pondok pesantren di Jawa dan Mekkah. Maka sewaktu pulang dari
Mekkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan
ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah
diperolehnya, Mbah Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di
Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa
kelahirannya.
Kembali ke Tanah Air
Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada
catatan resmi mengenai tahun kepulangannya), Mbah Kholil dikenal sebagai
seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun dikenal
sebagai salah seorang Kyai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan
serasi. Dia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz).
Hingga akhirnya, Mbah Kholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah
Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.
Dari hari ke hari, banyak santri yang
berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti
Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha;
pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya.
Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan,
hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota
Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1
Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.
Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga
cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi
juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari
Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.
Di sisi lain, Mbah Kholil disamping
dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf), ia juga
dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu
sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah Kholil
lebih dikenal.
Geo Sosio Politika
Pada masa hidup Mbah Kholil, terjadi
sebuah penyebaran Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di daerah Madura. Mbah
Kholil sendiri dikenal luas sebagai ahli tarekat; meskipun tidak ada
sumber yang menyebutkan kepada siapa Mbah Kholil belajar Tarekat. Tapi,
menurut sumber dari Martin Van Bruinessen (1992), diyakini terdapat
sebuah silsilah bahwa Mbah Kholil belajar kepada Kyai ‘Abdul Adzim dari
Bangkalan (salah satu ahli Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah). Tetapi,
Martin masih ragu, apakah Mbah Kholil penganut Tarekat tersebut atau
tidak?
Masa hidup Mbah Kholil, tidak luput dari
gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri
Mbah Kholil melakukan perlawanan.
Pertama: Ia melakukannya dalam bidang
pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah Kholil mempersiapkan murid-muridnya
untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai
integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan
banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu
diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebu Ireng.
Kedua: Mbah Kholil tidak melakukan
perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik
layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi
suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah Kholil
pun tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah
Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi,
ditangkapnya Mbah Kholil, malah membuat pusing pihak Belanda. Karena ada
kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa
dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya
para tahanan tidak melarikan diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang
datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Mbah Kholil, bahkan
banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut
menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Mbah Kholil untuk
dibebaskan saja.
Mbah Kholil adalah seorang ulama yang
benar-benar bertanggung jawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan
maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada
zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang
tidak seagama dengan yang dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura
seratus persen memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa
yang menjajah itu memeluk agama Kristiani. Sesuai dengan keadaan beliau
sewaktu pulang dari Mekkah yang telah berumur lanjut, tentunya Mbah
Kholil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan
senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang
diasaskannya.
Mbah Kholil sendiri pernah ditahan oleh
penjajah Belanda karena dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat
melawan Belanda di pondok pesantrennya. Beberapa tokoh ulama maupun
tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Mbah
Kholil.
Diantara sekian banyak murid Mbah Kholil
yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa
Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng,
Jombang, dan pengasas Nahdlatul Ulama/NU), KH. Abdul Wahab Chasbullah
(pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang), KH. Bisri Syansuri
(pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang), KH. Ma’shum (pendiri
Pondok Pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH.
Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren Rembang), dan KH. As’ad Syamsul
`Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Asembagus, Situbondo).
Karomah Mbah Kholil
Ulama besar yang digelar oleh para Kyai
sebagai “Syaikhuna” yakni guru kami, karena kebanyakan Kyai-Kyai dan
pengasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah belajar dan nyantri
dengan beliau. Pribadi yang dimaksudkan ialah Mbah Kholil. Tentunya dari
sosok seorang Ulama Besar seperti Mbah Kholil mempunyai karomah.
Istilah karomah berasal dari bahasa Arab.
Secara bahasa berarti mulia, Syeikh Thahir bin Shaleh Al-Jazairi dalam
kitab Jawahirul Kalamiyah mengartikan kata karomah adalah perkara luar
biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan
seorang Nabi.
Adapun karomah Mbah Kholil diantaranya:
1. Membelah Diri
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah
kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam
waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di
pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak
terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyup,” Cerita
KH. Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngeloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah
bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan ke Mbah Kholil. Dia
mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut,
langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir.
Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke
pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah
yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si
nelayan itu,” Papar KH. Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak
Sleman ini.
2. Menyembuhkan Orang Lumpuh Seketika
Dalam buku yang berjudul “Tindak Lampah
Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar” menerangkan bahwa Mbah Kholil
Bangkalan termasuk salah satu guru Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar
yang mempunyai karomah luar biasa. Diceritakan oleh penulis buku
tersebut sebagai berikut:
“Suatu hari, ada seorang keturunan Cina
sakit lumpuh, padahal ia sudah dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi,
namun belum juga sembuh. Lalu ia mendengar bahwa di Madura ada orang
sakti yang bisa menyembuhkan penyakit. Kemudian pergilah ia ke Madura
yakni ke Mbah Kholil untuk berobat. Ia dibawa dengan menggunakan tandu
oleh 4 orang, tak ketinggalan pula anak dan istrinya ikut mengantar.
Di tengah perjalanan ia bertemu dengan
orang Madura yang dibopong karena sakit (kakinya kerobohan pohon). Lalu
mereka sepakat pergi bersama-sama berobat ke Mbah Kholil. Orang Madura
berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Kira-kira jarak kurang dari 20
meter dari rumah Mbah Kholil, muncullah Mbah Kholil dalam rumahnya
dengan membawa pedang seraya berkata: “Mana orang itu?!! Biar saya bacok
sekalian.”
Melihat hal tersebut, kedua orang sakit
tersebut ketakutan dan langsung lari tanpa ia sadari sedang sakit.
Karena Mbah Kholil terus mencari dan membentak-bentak mereka, akhirnya
tanpa disadari, mereka sembuh. Setelah Mbah Kholil wafat kedua orang
tersebut sering ziarah ke makam beliau.
3. Kisah Pencuri Timun Tidak Bisa Duduk
Pada suatu hari petani timun di daerah
Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu
kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus-menerus, akhirnya
petani timun itu tidak sabar lagi. Setelah bermusyawarah, maka
diputuskan untuk sowan ke Mbah Kholil. Sesampainya di rumah Mbah Kholil,
sebagaimana biasanya Kyai tersebut sedang mengajarkan kitab Nahwu.
Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat
pemula.
“Assalamu’alaikum, Kyai,” Ucap salam para petani serentak.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,“ Jawab Mbah Kholil.
Melihat banyaknya petani yang datang. Mbah Kholil bertanya: “Sampean ada keperluan, ya?”
“Benar, Kyai. Akhir-akhir ini ladang
timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kyai penangkalnya,”
Kata petani dengan nada memohon penuh harap.
Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kyai
kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah
berdiri”. Lalu serta-merta Mbah Kholil berbicara sambil menunjuk kepada
huruf “qoma zaidun”.
“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma
zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai sebagai penangkal,” Seru Kyai
dengan tegas dan mantap.
“Sudah, Pak Kyai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda tanya.
“Ya sudah,” Jawab Mbah Kholil menandaskan.
Mereka puas mendapatkan penangkal dari
Mbah Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan
keyakinan kemujaraban penangkal dari Mbah Kholil.
Keesokan harinya, seperti biasanya petani
ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka
melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri
terus-menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun
yang selama ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya
penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu,
semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sia-sia. Semua maling tetap
berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama
semakin banyak.
Satu-satunya jalan agar para maling itu
bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Mbah Kholil
lagi. Tiba di kediaman Mbah Kholil, utusan itu diberi obat penangkal.
Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat
duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji
tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk
pencurian.
Maka sejak saat itu, petani timun di
daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih
kepada Mbah Kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke
pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di
pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok
pesantren dipenuhi dengan timun.
4. Kisah Ketinggalan Kapal Laut
Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut
pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju Mekkah. Semua penumpang
calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita
berbicara kepada suaminya: “Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin
sekali,” Ucap istrinya dengan memelas.
“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum
berangkat, saya akan turun mencari anggur,” Jawab suaminya sambil
bergegas ke luar kapal.
Suaminya mencari anggur di sekitar
ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual buah anggur seorangpun.
Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya
tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga.
Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak
bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya. Namun
betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan, kapal yang akan ditumpangi
semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia
duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya,
tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan
nasihat: “Datanglah kamu kepada Mbah Kholil Bangkalan, utarakan apa
musibah yang menimpa dirimu!” Ucapnya dengan tenang.
“Mbah Kholil?” Pikirnya. “Siapa dia,
kenapa harus ke sana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?”
Begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
“Segeralah ke Mbah Kholil minta tolong
padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah,” Lanjut
orang itu menutup pembicaraan.
Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah
sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Mbah
Kholil, langsung disambut dan ditanya: “Ada keperluan apa?”
Lalu suami yang malang itu menceritakan
apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Mbah Kholil. Tiba-tiba
Kyai itu berkata: “Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai
pelabuhan. Sana pergi!”
Lalu suami itu kembali dengan tangan
hampa. Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang
laki-laki tadi yang menyuruh ke Mbah Kholil, lalu bertanya: ”Bagaimana,
sudah bertemu Mbah Kholil?”
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan,” Katanya dengan nada putus asa.
“Kembali lagi, temui Mbah Kholil!” Ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu.
Maka sang suami yang malang itupun
kembali lagi ke Mbah Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali.
Baru setelah ketiga kalinya, Mbah Kholil berucap: “Baik kalau begitu,
karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.”
“Terima kasih Kyai,” Kata sang suami melihat secercah harapan.
“Tapi ada syaratnya,” Ucap Mbah Kholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya,” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu Mbah Kholil berpesan: “Setelah ini,
kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada
orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?”
Seraya menatap tajam.
“Sanggup Kyai,“ Jawabnya spontan.
“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Mbah Kholil.
Lalu sang suami melaksanakan perintah
Mbah Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya
pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal tadi
yang sedang berjalan. Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak
mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit
lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di
atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal.
“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur
jauh sekali,” Dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi
apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal.
Padahal sebenarnya dia baru saja
mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami
selama hidupnya. Terbayang wajah Mbah Kholil. Dia baru menyadarinya
bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan
dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar